Wednesday, November 7, 2012

Pendekatan Neo Marxis dalam Ilmu Politik




Para ilmuwan yang menggunakan pendekatan Neo Marxis ingin membahas masalah sosial dari perspektif yang holistik dan dialektis, yang memberi tekanan utama pada kegiatan negara dan konflik kelas.

Dalam rangka analisis holistik, mereka berpendapat bahwa keseluruhan gejala sosial merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang tersendiri, seperti politik terlepas dari ekonomi, ekonomi terlepas dari kebudayaan, dan sebagainya. Semua berkaitan erat dan tidak boleh dipisah-pisah. Terutama kaitan antara politik dan ekonomi sangat ditekankan oleh kalangan Neo-Marxis. Akan tetapi jika Marxisme klasik cenderung untuk menekankan determinasi ekonomi politik (artinya semua ditentukan oleh faktor ekonomi), maka para Neo-Marxis hanya mencanangkan keunggalan (primacy) dari basis ekonomi, artinya ekonomi merupakan faktor yang sangat penting dalam politik, tetapi politik tidak seluruhnya ditentukan ekonomi.

Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu sistem politik. Menurut pandangan struktural-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.

Bagi kalangan Neo Marxis, konflik antar kelas merupakan proses dialektis paling penting dalam mendorong perkembangan masyarakat dan semua gejala politik harus dilihat dalam rangka konflik antarkelas ini. Hal ini tidak berarti bahwa kalangan Neo Marxis ini mengabaikan konflik-konflik lain dalam masyarakat, seperti konflik etnis, agama, maupun rasial. Tetapi konflik-konflik ini, menurut keyakinan mereka, langsung maupun tidak, berasal atau berhubungan erat dengan konflik kelas.

Berdasarkan analisis dialektika, mereka melihat sejarah seolah-olah terdorong oleh pertentangan antara dua kelas sosial, yang dulu oleh para Marxis klasik dijelaskan sebagai konflik antara mereka yang memiliki alat-alat produksi dengan mereka yang tidak memilikinya. Karena menyadari bahwa konsep lama mengenai adanya dua kelas bertentangan dan di masa modern tidak dapat dipertahankan lagi karena tidak sesuai dengan kenyataan, kalangan Neo Marxis memberi perumusan yang lebih fleksibel dan luas dengan mencanangkan adanya dua himpunan massa (aggregates) yang sedikit banyak kohesif serta memiliki banyak fasilitas (the advantaged) dan mereka yang tidak mempunyai fasilitas (the disadvantaged).

Himpunan pertama paling dominan, dan negara mempertahankan kepentingan himpunan yang dominan itu dengan segala kekuatan yang ada padanya untuk mempertahankan dan memperkuat dominasinya. Kelas (dalam arti yang luas) dominan berasal dari latar belakang sosial dan pendidikan yang sama dan mempunyai kepentingan politik dan ekonomi yang sama pula. Dominasi mereka hanya dapat diakhiri dengan transformasi total dari keadaan yang menimbulkannya yaitu tatanan sosial politik yang ada. Kaum Neo Marxis memperjuangkan suatu perkembangan yang revolusioner serta multi-linier untuk menghapuskan ketidakadilan dan membentuk tatanan masyarakat yang menurut mereka,  memenuhi kepentingan seluruh masyarakat dan tidak hanya kepentingan kaum borjuis.

Meskipun demikian, kelas yang berkuasa dapat saja mencegah usaha kelas-kelas lainnya untuk melawan dominasinya melalui paksaan, konsesi, atau persuasi. Dengan demikian suatu konflik, menurut mereka, dapat saja tidak nampak sebagai konflik, seolah-olah tidak ada pertentangan. Akan tetapi apa yang tampak sebagai harmoni sebenarnya harmoni yang semu dan menyesatkan. Di bidang politik praktis mereka menginginkan desentralisasi kekuasaan dan partisipalsi dalam politik oleh semua komunitas.  Demikianlah secara umum pandangan dari golongan Neo Marxis dalam memahami  masalah sosial-politik dan ekonomi.

Monday, November 5, 2012

Pendekatan Perilaku dalam Ilmu Politik


Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapaun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parsons (1902-1979), antropologi, dan psikologi. Ketiga, dikalangan pemerinitah Amerika Serikat telah muncul keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.

Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elite, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik (polity).

Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, giat-tidaknya memprakarsai rancangan undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying dan latar belakang sosialnya.

Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Berdasarkan anggapan bahwa perilaku politik hanya salah satu dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini cenderung untuk bersifat interdisipliner. Ia tidak saja mempelajari faktor pribadi, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti budaya, sosiologis, dan psikologis. Disamping itu, pendekatan perilaku menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik.

Pendekatan Legal Institusional dalam Ilmu Politik


Pendekatan Legal/Pendekatan Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang pada abad ke 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok pembahasannya, terutama dari segi konstitusional dan yuridis. Bahasan pendekatan tradisional ini menyangkut antara lain sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dengan demikian pendekatan tradisional ini mencakup baik unsur legal maupun unsur institusional.

Seandainya kita ingin mempelajari parlemen dengan pendekatan ini maka yang akan dibahas adalah kekuasaan serta wewenang yang dimilikinya seperti tertuang dalam naskah-naskah resmi (undang-undang dasar, undang-undang atau peraturan tata tertib); hubungan formal dengan badan eksekutif; struktur organisasi (pembagian dalam komisi, jenjang-jenjang pembicaraan) atau hasil kerjanya (beberapa undang-undang telah dihasilkan).

Para peneliti tradisional tidak mengkaji apakah lembaga itu memang terbentuk dan berfungsi seperti yang dirumuskan dalam naskah-naskah resmi tersebut, apalagi bertanya mengapa ada diskrepansi antara struktur formal dan gejala-gejala yang dapat diamati dalam praktik. Pada saat bersamaan, pendekatan tradisional tidak menghiraukan organisasi-organisasi informal, seperti kelompok kepentingan dan kelompok lainnya, dan juga media komunikasi. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskriptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah. Lagipula dalam proses pembahasan, "fakta" (sesuatu yang dapat dibuktikan melalui pengalaman atau pengamatan) kurang dibedakan dengan norma (ideal atau standar yang harus menjadi pedoman untuk perilaku).

Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Menurut pandangan ini, negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal (a body of formal constitutional form). Disamping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Belanda dan Jerman. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan ini kurang memberi peluang bagi terbentuknya teori-teori baru.
 
;